(Penulis: Hans Bahanan)
BAB 1
Negeri Bernama Anabe
Negara Anabe adalah sebuah republik kecil yang terletak di bahari bagian timur. Luasnya tak seberapa, tetapi sejarah, budaya dan alamnya begitu kaya. Emas dan intan di mana-mana.
Anabe dikenal karena sistem pemerintahannya yang unik: perpaduan antara struktur modern dan adat istiadat lama, dengan tiga suku. Suku Sarkapa, Sambrawa, dan suku Mamboro. Pemerintahan moderen di Anabe dijalankan oleh seorang presiden dan wakilnya, dewan penasehat pribadi dan para menteri yang disebut Majelis Pelaksana.
Negara Anabe menurut negara lainnya dilihat sangat harmoni. Banyak pedagang kaya yang menaruh kepingan uangnya untuk berusaha di tempat ini, sebagian besar pedagang berusaha di sektor laut. Namun, harmoni itu hanya tampak dari luar. Di dalamnya, roda kekuasaan sering kali digerakkan bukan oleh akal sehat, melainkan oleh suara-suara yang terdengar dari balik tirai.
Sang Presiden dari Negeri Jauh
Presiden Anabe bernama Kelana Japra, ia tidak lahir dari rahim politik Negara Anabe meskipun tanah kelahirannya di tengah peta negara. Ia adalah seorang perantau, dan telah berkeliling dunia karena diperintahkan oleh kekaisaran Agung. Bahkan, ia pernah tinggal dan bekerja di sebuah kerajaan mewah, yang penuh dengan wanita cantik dan kehidupan nan kompleks: Negara Kesultanan Dunia.
Di sana, ia menjadi utusan kekaisaran Agung sebagai juru runding. Ia makan di meja panjang, sesekali menikmati musik dan tarian menyerupai tarian Zeybek di aula cemerlang bak kristal.
Lelah dengan kemewahan yang semu, Japra kembali ke Negara Anabe, tanah kelahirannya yang sederhana. Ia membawa satu hal yang tidak ia temukan di istana kesultanan: kerinduan akan kejujuran dan bahasanya yang lama tak ia gunakan.
Saat mencalonkan diri menjadi Presiden Anabe, tak banyak yang percaya ia bisa menang. Ia tak mengerti tentang Politik dan tak punya harta berlimpah sedangkan lawan lawannya jagoan politik dan petahan. Tentunya dengans egudang pengalaman memimpin. Tapi rakyat melihat sesuatu dalam dirinya: kesungguhan membawa harapan baru. Dan dengan suara mayoritas mengejutkan, Japra terpilih sebagai Presiden Anabe.
Para Pembisik
Setelah dilantik, Japra membentuk Dewan Pertimbangan Agung. Rakyat yang kontra menyebutnya dengan istilah "Para Pembisik", tokoh-tokoh tua dan muda yang dianggap bijak dan paham tentang pemerintahan. Tokoh-tokoh itu yang bertugas memberinya nasihat dalam senyap.
Namun, seiring berjalannya waktu, bisikan-bisikan itu menjadi aneh. Hampir banyak hal bodoh yang diutarakan. Mulai dari pembentukan panglima keuangan hingga petugas pengumpulan Zakat. Para pembisik memberikan bisikan yang kadang tidak masuk akal, seperti:
"Presiden Japra harus tidur menghadap tenggara setiap malam untuk kejernihan berpikir."