Mataram, Disway.id- Koalisi Stop Kekerasan Seksual (KSKS) NTB mengecam keras tuntutan dan putusan ringan terhadap para terdakwa kasus kekerasan seksual di sebuah pondok pesantren di Sekotong, Lombok Barat.
Mereka menilai langkah Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram maupun Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Mataram sebagai bentuk kemunduran dalam penegakan hukum, sekaligus mencederai upaya perlindungan anak di NTB.
“Seharusnya para terdakwa dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Tidak hanya lebih lama, tapi juga bisa sampai hukuman kebiri kimia agar memberi efek jera," ujar anggota Tim Koalisi SKS. Yan Mangandar Putra, Rabu (17/9).
Yan juga menegaskan bahwa putusan enam tahun sangat jauh dari rasa keadilan, apalagi kasus ini terjadi di lingkungan pendidikan pondok pesantrean yang sedang belajar ilmu agama.
Koalisi juga menilai bahwa putusan tersebut tidak sejalan dengan UU Perlindungan Anak hasil perubahan kedua (UU No. 17 Tahun 2016). Yang mana jelas mengatur ancaman pidana minimal 10 tahun dan maksimal 20 tahun bagi pelaku, khususnya pendidik dan tokoh agama.
Serta, kata dia, UU juga memperbolehkan penerapan hukuman tambahan berupa kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, hingga pengumuman identitas pelaku ke publik.
Sebagai perbandingan, Koalisi menyinggung kasus serupa di Praya, Lombok Tengah, di mana seorang pendiri ponpes divonis 15 tahun penjara oleh PN Praya pada 31 Juli 2025. Padahal kasus tersebut juga diwarnai pencabutan keterangan saksi di persidangan. Perbedaan mencolok ini, menurut mereka, memperlihatkan ketidakjelasan arah penegakan hukum di NTB.
Tak hanya itu, Koalisi juga menyoroti dugaan pelanggaran etik dalam persidangan. Seperti, anak korban dan saksi anak dihadapkan langsung dengan terdakwa di ruang sidang. Koalisi menilai hal itu sebagai indikasi lemahnya perspektif perlindungan anak di tubuh aparat peradilan.
"Sebuah praktik yang bertentangan dengan prinsip perlindungan korban anak," kata dia.
Atas dasar itu, Koalisi berencana melaporkan Kejari Mataram ke Kejaksaan Agung RI dan Komisi Kejaksaan RI. Mereka juga akan mengadukan Majelis Hakim PN Mataram ke Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial.
“Ini harus dievaluasi secara menyeluruh. Jangan sampai ada kesan bahwa predator seksual mendapat perlindungan di balik statusnya sebagai ustadz atau pemilik pesantren,” tegas Yan Mangandar.
Untuk diketahui, kasus ini menyeret tiga terdakwa yaitu Ust. Wahyu Mubarok alias Gus Wahyu dituntut delapan tahun penjara. Kemudian Ust. Haji Marwan alias Abah Marwan, PN Mataram menjatuhkan putusan lebih ringan kepada Marwan, yakni enam tahun penjara. Tuntutan terhadap terdakwa ketiga yaitu pemilik pondok pesantren, dijadwalkan dibacakan pada 17 September 2025.