Negeri ANABE: Bisikan, Kekacauan dan Pencarian Jiwa Sang Presiden- Bagian 3

Ilustrasi Mata Air--
Penulis: Hans Bahanan
BAB III
Presiden Japra Menghilang
Setelah kesalahan besar dengan menunjuk pelaksana harian Perdana Menteri Lumah Furaya, Presiden Japra tiba-tiba menghilang. Bukan sebagai pelarian, tapi sebagai pencarian terhadap akal sehat yang lama dirusak oleh para pembisik kekuasaan.
Ia meninggalkan istana tanpa pengawal, tanpa pengumuman. Hanya ada secarik catatan:“Aku akan mencari suara yang tak berbunyi, agar bisa kembali mendengar dengan benar dari orang yang benar.”
Desas-desus menyebar. Ada yang bilang dia melarikan diri. Ada yang bilang ia bunuh diri politik. Tapi satu sumber terpercaya menyebut Japra ke hutan untuk bertapa.
Kedamaian di Lembah Pengembul
Japra memilih jalan sunyi untuk menghindari hiruk pikuk yang terjadi, perjalannya panjang menembus rimba basah dan menuruni jalan tanah penuh bebatuan. Pelariannya terhenti di suatu tempat bernama Lembah Pengembul. Sebuah lembah dengan mata air abadi.
Lembah Pengembul adalah permata tersembunyi di bagian timur negara Anabe. Lembah ini tak ada dalam peta, Di sana, pepohonan menjulang hampir menembus awan. Akar mereka menyembul dari tanah dan melilit batu, seolah ingin kembali ke langit.
Burung-burung kecil bernyanyi dan menari di atas air tanpa rasa takut seperti tarian yang tak ingin selesai.
Di ujung lembah, ada sebuah kolam alami, airnya sebening kaca di dasarnya tampak bebatuan kecil yang berkilau saat terkena cahaya senja.
Saat malam datang, kunang-kunang keluar dari batang pepohonan dan menari. Mereka membentuk pola seperti huruf-huruf purba, seolah hendak menyampaikan pesan dari bumi kepada Japra.
Di sisi kolam mata air itu, ada sebuah pondok bambu beratap daun kelapa. Tanpa pintu dan jendela. Hanya rak-rak yang tersusun rapi penuh daun kering, akar pahit, dan gulungan serat kayu. Pondok itu milik Ki Subali, lelaki tua bermata teduh yang tak pernah berbicara namun hidupnya tampak berdamai dengan alam seakan bumi dan langit telah menyatu dengan Jiwanya.
Malam itu, di ujung barat lembah, Japra duduk terdiam, sambil menikmati keheningan. Seakan jiwanya luluh lantah setelah dibodohi oleh para pembisik yang dianggap lebih dari saudaranya sendiri. Jiwanya hancur, seperti hancurnya gedung-gedung di Gaza setelah dihantam rudal Israel.
“Kau datang bukan untuk bertanya, apakah kau hanya datang untuk diam?” kata Ki Subali. Mungkin ini kata kata pertama Subali selama hidupnya.
Japra tak tahu akan menjawab apa, ia semakin jauh terdiam. Saat itu, Ki Subali memberikan isyarat dengan menunjuk ke dalam pondok. Di sana ada tikar dari daun pandan yang kering, kendi air, dan satu piring nasi yang masih hangat.
Petuah Malam di Lembah Pengembul
Japra akhirnya beranjak menuju gubuk tua Ki Subali. Mereka berdua duduk di atas tikar dari rotan yang tampak usang termakan oleh alam. Tak lama kemudian, Ki Subali Berkata:
“Negara tak akan runtuh karena orang salah bicara. Tapi bisa runtuh jika pemimpinnya tak tahu kapan harus bicara dan kapan harus diam.”
Japra menjawab, pelan, “Aku telah mendengar terlalu banyak dari orang yang seharusnya kubiarkan bicara pada dinding.”
Japra pun mengutarakan seluruh unek unek yang ada di benaknya kepada Ki Subali. Hingga tak terasa percakapan mereka tiba di penghujung hari. Japra pelan pelan tertidur di atas tikar berbantal lengan, itu tanpa bantal dan guling empuk.
Pelajaran Dari Pengembul
Pagi-pagi buta, sebelum embun selesai menetes, burung yang hanya hidup di lembah itu bernyanyi seperti membangunkan Japra dari tidur yang panjang . Ki Subali menyeduh air jahe dari akar yang ia petik sendiri. Ia kemudian duduk berhadapan dengan Japra.
“Apa kau sudah tahu apa yang akan kau lakukan setelah kembali?”
Japra tetap tak bisa menjawab dengan kata-kata, baginya kedamaian malam yang sunyi di tempat itu adalah sebuah jawaban. Kata kata Ki Subali adalah petuah baginya. Ia mulai sadar bahwa pemimpin tak selalu harus tahu arah.
Cukup tahu siapa yang harus dipercaya, dan siapa yang harus ditinggalkan di belakang.
Setelah lima hari menghilang, Japra kembali ke Istana. Ia tak membawa apa apa, selain coretan di buku catatan pribadinya:
“Di Pengembul aku belajar: air tak pernah ribut, tapi ia mengikis batu. Ikan tak pernah bicara, tapi ia tahu ke mana berenang. Dan suara sunyi lebih tajam daripada pidato panjang yang tak jujur.” (Bersambung)
Catatan penulis: “Lembah Pengembul bukan sekadar dongeng atau sebuah imajinasi. Tempat itu nyata. Terletak di Desa Rempung, Lombok Timur. Di sana, mata air abadi tak pernah berhenti memancur, memberi hidup bagi semua orang. Di sana banyak kolam alami dengan Ikan-ikan kecil yang berenang liar. Burung-burung berkicau dari dahan ke dahan. Dan di malam hari, kunang-kunang menari seperti bintang jatuh ke bumi'.
Sumber: