Menjaga Harapan di Tanjung Aan, Membangun Tanpa Menggusur Keadilan

Dr. H. Ahsanul Khalik/Staf Ahli Gubernur NTB Bidang Sosial Kemasyarakatan--
Tanjung Aan bukan hanya bentang alam yang memikat, dengan lengkung pantai eksotis di ujung selatan Pulau Lombok, menyimpan lebih dari sekedar keindahan pasir putih dan birunya laut. Ia menyimpan kisah warga yang sejak lebih dari satu dekade lalu membangun harapan berupa warung di atas tanah yang mereka rawat dan manfaatkan secara turun-temurun untuk menyambut wisatawan. Artinya Tanjung Aan juga merupakan ruang hidup dan ruang usaha bagi warga yang telah lama menjadikannya sebagai sumber penghidupan, di tengah semangat pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika.
Di balik keindahan alamnya, tersimpan jejak pengorbanan dan semangat bertahan dari warga yang menggantungkan hidup dari warung-warung sederhana yang mereka bangun sendiri, sebagian bahkan dengan izin usaha informal dari pemerintah desa.
Namun, pada 15 Juli 2025, penertiban terhadap sejumlah warung di sepanjang pesisir Tanjung Aan dilakukan oleh aparat gabungan bersama Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) sebagai bagian dari upaya penataan kawasan dalam rangka pembangunan hotel berbintang di KEK Mandalika. Sebagian warga kehilangan sumber pendapatan.
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat memahami sepenuhnya bahwa pembangunan KEK Mandalika adalah proyek strategis nasional yang harus dijalankan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan daya saing daerah. Namun pada saat yang sama, Pemerintah juga memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk memastikan bahwa setiap proses pembangunan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan sosial dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Dalam perspektif formal, ITDC memegang hak kepemilikan tanah berupa sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang sah berdasarkan PP No. 50 Tahun 2008 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan Persero PT Pengembangan Pariwisata Bali dan PP No. 52 Tahun 2014 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika. Peraturan ini mengatur tentang pembentukan dan pengelolaan KEK Mandalika di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Mereka menyatakan bahwa kawasan tersebut akan dijadikan lokasi pembangunan hotel berbintang, bagian dari perluasan proyek strategis nasional Mandalika. Dari sisi hukum administratif, penguasaan ini sah. Tetapi dari sisi sosial kemanusiaan, situasi ini tidak boleh menyisakan luka yang dalam.
Pernyataan resmi Komnas HAM Nomor 43/HM.00/VII/2025 perlu menjadi perhatian bersama. Komnas HAM menilai bahwa penggusuran terhadap usaha milik warga di Tanjung Aan berpotensi melanggar hak atas tempat tinggal dan kehidupan yang layak, sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) dan (4) UUD 1945, serta dalam Konvenan Internasional tentang Hak Ekosob dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Masalah utama dalam kasus Tanjung Aan bukan sekedar soal kepemilikan tanah, melainkan soal ketimpangan relasi kuasa antara korporasi dan warga, antara pembangunan dan penghidupan, antara hukum formal dan keadilan sosial. Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan pun tidak bisa hanya bersifat teknokratis, tetapi harus berpijak pada nilai keadilan substantif.
Dalam konteks inilah, kita perlu membangun pemahaman bahwa pembangunan yang berkelanjutan bukan sekedar persoalan fisik dan investasi, melainkan juga menyangkut keberlanjutan sosial. Pembangunan seharusnya tidak meminggirkan warga yang justru telah lebih dahulu hadir dan berperan dalam menjaga dan mempromosikan kawasan wisata ini kepada dunia.
Sebagai bagian dari unsur pemerintahan daerah, saya meyakini bahwa penyelesaian masalah ini membutuhkan pendekatan yang integratif dan kolaboratif. Semua pihak, mulai pemerintah daerah, masyarakat, korporasi, dan lembaga negara seperti Komnas HAM ataupun kementerian terkait harus duduk bersama dalam forum yang terbuka dan setara untuk mencari jalan keluar yang adil.
Pertama, perlu dibentuk forum musyawarah antara masyarakat terdampak, ITDC, pemerintah daerah, dan lembaga negara terkait. Forum ini bertujuan menggali duduk persoalan dari semua sisi dan merumuskan solusi bersama yang mengedepankan prinsip win-win.
Kedua, perlu ada rancangan skema relokasi atau kemitraan, ITDC memfasilitas lahan usaha alternatif (bukan sekedar menggusur), bahkan pada jangka panjang ITDC membuka peluang warung warga menjadi bagian dari zona usaha sah dalam konsep "amenity core" atau "zona ekonomi rakyat". Ini akan membangun keberlanjutan sosial di tengah geliat investasi, sehingga lebih tertata, legal, dan mendukung estetika kawasan wisata.
Ketiga, selama masa transisi, perlu dipikirkan untuk adanya pemberian bantuan sementara, baik dalam bentuk dukungan logistik, pelatihan kewirausahaan, maupun akses ke program perlindungan sosial. Dengan demikian, proses perubahan tidak menimbulkan beban sosial yang lebih besar di kemudian hari.
Keempat, Pemerintah diharapkan hadir untuk memfasilitasi mediasi agar ada kesamaan langkah dan penanganan yang terpadu. Prinsip due diligence berbasis HAM, untuk mengidentifikasi, mencegah, mengurangi, dan mempertanggungjawakan dampak buruk terhadap hak asasi manusia yang mungkin timbul dan menjadi dasar dalam setiap tindakan, sebagaimana telah ditegaskan oleh Komnas HAM.
Pembangunan tidak boleh hanya dilihat dari sisi seberapa cepat tanah dibersihkan atau proyek dijalankan, tetapi juga dari seberapa kuat kepercayaan masyarakat terbangun dalam prosesnya. Ketika warga merasa dilibatkan, dihormati, dan diberi ruang untuk tumbuh bersama, maka pembangunan bukan hanya akan diterima, tetapi dijaga bersama.
Sumber: