Penulis: Hans Bahanan
Di bagian timur Negeri Anabe, tepatnya di wilayah yang dihuni oleh mayoritas suku Sambrawa, musim kekacauan kembali datang, bukan karena perebutan emas dan tembaga, bukan pula karena banjir, melainkan karena sidang penetapan Kitab Suci Lima Tahunan.
Bukan, ini bukan kitab agama. Di Anabe, segala rencana pembangunan, program publik, dan janji politik disusun dalam sebuah dokumen sakral yang mereka sebut Kitab Suci Pemerintahan. Ironisnya, semakin disebut “suci”, semakin sering ia diobok-obok oleh tangan-tangan kotor sebelum diserahkan ke DPR, Dewan Pembuat Rencana (bukan Realita. Meskipun sama sama R). Oh iya lupa R juga kadang kadang berarti “Rakyat”).
“Sidang Suci yang Tak Lagi Sakral”
Tahun ini, sidang penetapan Kitab Suci oleh DPR diadakan terburu-buru. Tanpa mendengar suara warga. Tanpa telaah yang cukup. Bahkan rumor mengatakan isi Kitab Suci itu disusun tanpa aturan, dan berdasarkan hasil bisik-bisik di ruang makan dinas.
“Yang penting cepat disahkan, agar kita bisa makan malam yang enak selama 5 tahun,” ujar seorang anggota DPR sambil menyeruput kopi, dengan pisang goreng yang masih hangat.
Tersiar kabar bahwa kitab suci itu berisi daftar rencana proyek aneh, seperti pembuatan taman hologram di bukit rawan longsor, jembatan kaca menuju bukit gersang, dan pengadaan aplikasi pelaporan yang hanya bisa digunakan saat sinyal hilang.
Mahuta: Yang Masih Waras
Di tengah euforia palsu itu, muncul satu suara waras: Mahuta, seorang tokoh dari Suku Sambrawa yang pernah ikut menyusun Kitab Suci di masa lalu. Ia membaca draf yang disebarkan secara diam-diam, dan matanya membelalak.
“Ini bukan kitab suci yang akan dianut. Ini kitab buatan!.”
Mahuta pun mencoba mencegah kerusakan lebih lanjut. Ia naik kereta kuda menuju ibu kota dengan jarak yang jauh hanya untuk menemui Presiden Japra dan meminta agar Japra tidak menandatangani dokumen tersebut.
Istana Kosong dan Segelas Kopi Hangat
Namun sesampainya di Istana, Mahuta tak menemukan siapa siapa, hanya meja kosong dan segelas kopi yang masih hangat (tanda bahwa seseorang baru saja pergi entah ke mana).
“Presiden sedang melihat tembok yang roboh akibat banjir,” jawab seorang staf, yang sibuk memoles kursi kayu istana sambil menonton video “5 cara memimpin negara yang baik dan benar”
Mahuta menghela napas panjang. Di negeri yang pejabatnya lebih cepat memperbaiki kursi kayu daripada memperbaiki dasar negara, mungkin rakyat seperti dirinya hanya dianggap latar belakang.
Melapor ke Garda Tata Administrasi (GTA)
Tak menyerah, Mahuta pun mendatangi Garda Tata Administrasi, semacam polisi administrasi negeri Anabe, tempat di mana surat yang terlambat, cap yang salah, dan prosedur yang dilangkahi bisa dipermasalahkan. (kecuali oleh mereka yang berkepentingan?.. Tidaklah).
Ia menyodorkan laporan lengkap:
Rapat diam-diam sambil mendengar musik lawas Pencatutan nama program yang tidak pernah dibahas Dan pasal-pasal gelap yang bisa membuat anggaran bocor seperti atap tua saat hujanPetugas GTA langsung menjawab dengan tegas:
“Kami akan telaah dalam waktu dekat.”
(Bukan berarti sesudah masa jabatan habis, atau saat semua sudah terlanjur terjadi, Bukan!)
Ancaman Terakhir: Lapor Dewan Kekaisaran Agung
Merasa langkah hukum dalam negeri anabe yang tumpul, Mahuta melontarkan ancaman terakhir: “Kalau Presiden tetap menandatangani Kitab Suci ini, saya akan menyurati Dewan Kekaisaran Agung.”
Pernyataan itu membuat seisi ruangan GTA mendadak hening. Karena semua tahu, Dewan Kekaisaran Agung adalah simbol kekuasaan nasional, lembaga di atas segalanya yang bisa memanggil siapa saja, bahkan raja yang sedang tidur siang.
“Kami tidak ingin mempermalukan negeri ini. Tapi lebih memalukan lagi jika kita membiarkan dokumen sesakral ini ditulis seperti “brosur diskon Anamart".” Sahut Mahuta.
Ternyata “Kitab Suci” itu belum ditandatangani.
Japra masih sibuk mencari batu yang kokoh untuk membangun kembali tembok yang roboh,sedangkan para menteri juga terlihat sibuk. Iya, sibuk pencitraan. Rakyat masih bertanya-tanya, apakah negeri semakmur ini butuh air bah lagi agar semua sadar, bahwa sesuatu yang suci harus disucikan sesuci-sucinya dari Najis.
“Jika yang suci saja dibiarkan diacak-acak, lantas apa ada kesucian lagi?”
ujar Mahuta, sebelum ia meninggalkan istana dengan langkah pelan, meninggalkan lumpur, kopi dingin, dan beberapa staf yang sedang bersama-sama menonton video “Tutorial mengangkat Perdana Menteri dari luar Anabe”