Negeri ANABE: Bisikan, Kekacauan dan Pencarian Jiwa Sang Presiden- Bagian 2

Ilustrasi Presiden Anabe sedang Murka ke para pembisik--
Penulis: Hans Bahanan
BAB II
Pagi itu, di kantor pemerintahan Anabe, kursi Perdana Menteri kosong melompong setelah Lelana Gading, sosok cerdas dan berwibawa memilih mengundurkan diri. Mungkin alasannya sederhana yaitu ingin menyelamatkan akal sehatnya sebelum jadi fosil di dalam birokrasi.
Rakyat menunggu siapa pengganti Lelana Gading. Para menteri sibuk menjilat, media sibuk membuat poling, bahkan di kalangan para dukun pun ikut sibuk sambil membaca tanda-tanda langit. Tapi Presiden Japra? ternyata Ia juga sangat sibuk karena bingung memilih warna taplak meja rapat antara Merah atau Kuning.
Sore harinya, saat para menteri berkumpul di ruangan Perdana Menteri, datanglah utusan dari istana membawa kabar mengejutkan:
“Yang Mulia Presiden Japra telah menunjuk bapak Lumah Furaya sebagai Pelaksana Harian Perdana Menteri.”
Sontak seisi ruangan hening. Pisang goreng dan kopi panas di depan mereka berubah dingin dan bahkan tampak membeku. Para menteri kaget mendengar kabar tersebut. Namun tak ada satupun yang bisa membantah. semua tidak menyangka bahwa Presiden akan mengangkat Lumah Furaya.
Lumah Furaya, nama yang biasa muncul di pojok-pojok obrolan warung belakang kantor presiden dan terkadang muncul di halaman gosip media mainstream. Kalangan staf menteri mengenal Furaya sebagai sosok yang kasar, ahli dalam membuat utang tapi alergi membayar. Bahkan Furaya pernah didemo oleh stafnya sendiri.
Urusan rumah tangganya juga, jadi bahan gosip yang rumit. Namun tak serumit pansel Bank Anabe Syariah.
Tapi Japra mengangkatnya, tak ada yang berani membantah. Sebab, di Negeri Anabe, perintah presiden wajib ditaati, jabatan apapun hanya bersifat sementara, tanggung jawab kadang bersifat musiman, dan moral…
Ya, moral bisa dinegosiasikan (Atur aja bos!).
Presiden Japra Dibodohi
Sementara di sebuah ruangan belakang istana, dua orang pembisik sedang menikmati kemenangan hakiki setelah presiden Japra mengangkat Lumah Furaya sebagai Plh Perdana Menteri.
“Ha ha ha! Lihat, akhirnya presiden ikut kata kita!” bisik si pembisik pertama sambil menepuk-nepuk dadanya.
“Padahal kita ini nggak ngerti-ngerti amat soal tugas perdana menteri!” timpal pembisik kedua, lalu mereka tertawa seperti anak-anak yang baru mencuri permen dari kios haji Farhan.
Mereka tak sadar, suara mereka menembus dinding istana yang lebih tipis dari harga diri pemerintah Anabe. Kata-kata mereka merayap, menjilat lantai, memanjat pilar yang baru saja dibangun, dan menyusup melalui dapur istana, hingga akhirnya masuk ke telinga Japra.
Presiden Japra Murka
Mendengar hal itu, Japra berdiri mendadak. Wajahnya memerah seperti dinding rumah yang belum dicat ulang sejak masa kolonial Belanda.
“Sialan! Ternyata Selama ini saya dibodohi oleh Dewan Penasihat!” gumamnya.
Dia menggebrak meja, menjatuhkan peta negara (yang memang sudah lama dipakai sebagai alas makan siang). Dalam amarahnya yang luar biasa, ia menyuruh tukang kebun menyetir mobil dinas yang baru dibeli seharga 2 Milyar untuk diantar ke kantornya. Padahal kantornya hanya berjarak 15 meter dari rumahnya.
“Kau! Antar aku sekarang juga!”
Tukang kebun itu menggenggam sapunya dengan gemetar.
“Ma.. Maaf, Pak… saya cuma bisa menyapu dan motong rumput. Saya takut nabrak baliho bapak yang ada di depan gedung itu…”
Japra kemudian menulis surat. Surat yang ditujukan kepada Tunggalbara Petung, Menteri Urusan Pemerintahan yang terkenal pendiam (Penjilat diam-diam).
“Selamat malam, Tunggal. Saya ingin bertemu malam ini. Ternyata Dewan Penasihat telah membodohi saya. Padahal saya mempercayakan penuh urusan ini ke mereka.”
Saat itu Tunggalbara sedang beradu siulan dengan burung peliharaan yang ada di sangkar. Sambil bersiul Ia kaget bukan main setelah menerima dan membaca isi surat. Saking kagetnya, ia berlari ke istana hanya mengenakan sarung yang diikat dengan tali rapia. Celana? Entah tertinggal di mana, mungkin bersama martabat yang sempat ia punya di masa pemerintahan sebelumnya.
Ia pun bergegas. Sambil menahan sarung agar tidak jatuh. Dalam hati ia berpikir,
“Kalau para penasihat bisa membodohi presiden, maka siapa yang akan membodohi para penasihat? Dan siapa yang membodohi rakyat?”
Pertanyaan itu terlalu berat. Maka ia berhenti berpikir dan mulai bersiul sambil berjalan santai menuju Istana.
Sementara itu, Lumah Furaya kini duduk bersantai di kursi Perdana Menteri sementara. Ia diseduhkan teh manis oleh ajudannya, mencicipi sedikit “madu kekuasaan”, dan membatin sambil melihat ke flapon ruangan.
“Beginilah rasanya jadi pejabat penting...,” katanya dalam hati.
Negeri Anabe pun berjalan seperti biasanya..... Namun dengan sepatu sebelah kiri yang “sangat sempit”, dan sebelah kanan yang “terlalu longgar. Masih Pincang”. (Bersambung)
Sumber: