Banjir Tak Kenal Kalender: Tak Penting Saling Menyalahkan, Rancang Solusi untuk Mataram

Banjir Tak Kenal Kalender: Tak Penting Saling Menyalahkan, Rancang Solusi untuk Mataram

Foto Dr. Akhsanul Khalik, Staf Ahli Gubernur NTB Bidang Sosial Kemasyarakatan--

Tanggal 6 Juli 2025, Kota Mataram kembali menjadi lautan. Bukan karena musim hujan yang biasa datang antara Oktober dan April, tapi justru di tengah musim yang oleh BMKG telah dikategorikan sebagai musim kemarau. Hujan yang turun deras, dan tak ayal air menggenangi hampir seluruh penjuru kota, dari Selagalas hingga Sekarbela, dari Turida hingga Babakan, dari Pagutan hingga ke pesisir Ampenan. Kota lumpuh. Warga panik. Dan pemerintah harus bergerak cepat.

Inilah yang belakangan disebut orang dengan istilah "kemarau basah" sebuah anomali cuaca yang menjadi tanda jelas bahwa sistem musim yang selama ini kita kenal sudah tidak lagi bekerja secara stabil. Alam sedang berubah. Tapi pertanyaannya, apakah kita sudah berubah dalam menata kota dan merancang ruang hidup kita?

Di masa lalu, antara bulan Mei hingga September, warga NTB, khususnya petani sudah bisa memprediksi langit akan cerah, matahari terik, dan tanah mengering. Tapi sejak satu dekade terakhir, pola itu tidak lagi pasti. Hujan bisa datang tiba-tiba di bulan Juni. Agustus bisa gerimis setiap sore. Bahkan September pun masih menyimpan badai.

Apa yang terjadi di Mataram pada awal Juli 2025 bukanlah insiden yang berdiri sendiri. Ini adalah bagian dari fenomena besar yang disebut sebagai anomali iklim, atau bahkan gejala dari perubahan iklim global. Dan Kota Mataram, yang secara geografis berada di dataran rendah dan sebagian wilayahnya di bawah permukaan laut, adalah kota yang paling rentan menerima limpahan air dari hujan lokal maupun hujan kiriman dari dataran tinggi sekitar seperti Lingsar, Narmada, dan Gerimak.

Masalah terbesar banjir Mataram bukan hanya soal tingginya curah hujan. Tapi karena daya serap tanah sudah semakin lemah. Kota yang dulunya memiliki banyak lahan terbuka, sawah, dan kebun, kini telah berubah menjadi deretan perumahan, ruko, dan jalanan beton. Daerah tangkapan air hilang, digantikan genteng dan aspal yang menolak air meresap.

Sementara, sistem drainase yang ada tidak cukup menampung derasnya air yang datang bersamaan dari berbagai penjuru. Bahkan hujan deras di Lingsar atau Narmada saja cukup untuk membuat air mengalir hingga ke Pagutan dan Sekarbela, lalu berujung di genangan-genangan yang tak sempat dialirkan ke pantai Ampenan.

Banjir bukan saja soal curah hujan. Fenomena ini bukan hal baru. Banjir besar juga pernah melanda Mataram, di mana pada tahun 2008 terjadi bencana banjir di banyak aliran sungai yang mengakibatkan kerusakan secara sporadis sepanjang aliran sungai”   Waktu itu, hampir semua wilayah kota terendam, dan pemerintah kota di bawah kepemimpinan H. Moh. Ruslan bergerak cepat. Saat itu pula muncul gagasan membangun waduk skala menengah di dua lokasi, wilayah timur sekitar Bertais dan wilayah barat sekitar Jempong. Sayangnya, rencana tersebut berhenti sebagai wacana, tertinggal oleh prioritas pembangunan lainnya.

Padahal, keberadaan waduk di kedua wilayah itu bisa menjadi solusi multifungsi, bisa sebagai penampung air saat musim hujan, sebagai sumber air bersih saat musim kemarau, bahkan sebagai ruang hijau dan tempat wisata warga kota.

Kini, kita dihadapkan kembali pada kenyataan, banjir tak kenal kalender, dan kota kita belum siap menghadapinya.

Sebagai ASN yang pernah berkarier cukup lama di Kota Mataram, dengan pengalaman dan pengenalan terhadap siklus banjir di yang pernah terjadi di Kota Mataram, dan juga kapasitas penulis dengan basic keilmuan pernah belajar Tekhnik Bangunan Air di STM Negeri Mataram dan pernah Kuliah di Fakuktas Tekhnik Univeritas Muhammadiyah Mataram, melalui tulisan ini ikut urun rembuk memberikan tawaran dan saran rancangan solusi berupa enam langkah strategis untuk Mataram bebas banjir.

Karena untuk menjawab tantangan ini, perlu langkah besar dan lintas sektor. Berikut enam langkah strategis yang perlu segera dirancang dan dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Mataram bersama Pemerintah Provinsi NTB : 

Pertama: Membangun waduk perkotaan multifungsi. Waduk atau embung kota di wilayah Bertais dan Jempong harus diwujudkan. Selain untuk mencegah banjir, waduk ini dapat berfungsi sebagai sumber air baku yang diolah menjadi air PDAM dan ruang publik yang hijau dan teduh.

Kedua: Revitalisasi dan normalisasi saluran sungai. Sungai-sungai yang membentang membelah kota harus dibersihkan dari sedimentasi dan sampah. Tinggi tebing harus diperkuat dan sistem kanal tambahan perlu dibangun untuk aliran cepat menuju laut. (Ini sudah sering dilakukan, namun perlu penanganan ulang lebih makssive dan tinggi tebing sungai perlu perhatian khusus)

Ketiga, Zona resapan dan moratorium alih fungsi lahan. Sisa lahan sawah di kota harus ditetapkan sebagai kawasan resapan strategis. Pengendalian Amdal dan izin pembangunan harus lebih ketat, terutama di daerah rawan genangan.

Sumber: