Kritisi Soal Tambang, WALHI NTB: Benar Untuk Rakyat atau Ada Kepentingan Korporasi Besar?

Kritisi Soal Tambang, WALHI NTB: Benar Untuk Rakyat atau Ada Kepentingan Korporasi Besar?

Tambang Rakyat, Foto: Net--

Mataram, Disway.id– Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Barat (NTB) mengatakan rencana pertambangan rakyat yang digagas pemerintah perlu dikritisi karena dinilai membuka peluang masuknya kepentingan korporasi besar bukan semata-mata untuk kepentingan rakyat.

Hal itu disampaikan ketua Walhi NTB, Amri Nuryadin, dia mengatakan bahwa jika tambang dianggap sebagai solusi keluar dari kemiskinan, maka praktik pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang ada saat ini harus dilihat secara jujur dan terbuka.

“Ini benar-benar untuk rakyat atau jangan-jangan ada kepentingan korporasi besar yang sedang bergerak,” ujar Amri, Selasa, 15 Juli 2025.

Menurut Amri, alih-alih mensejahterakan rakyat, tambang rakyat justru bisa mengalihkan beban kerusakan lingkungan dari perusahaan besar ke masyarakat kecil. Sehingga nantinya masyarakat kecil yang akan mendapat dampak kerugian terutama dari sisi lingkungan.

Perusahaan Besar Berkedok tambang rakyat

Walhi NTB menyoroti maraknya praktik tambang rakyat yang diduga kuat hanya menjadi kedok bagi kepentingan korporasi besar. Skema pertambangan rakyat yang seharusnya memberi manfaat langsung bagi masyarakat kecil, kini justru dipakai sebagai jalan pintas oleh perusahaan besar untuk menghindari regulasi ketat.

 

Praktik tersebut, kata dia, sangat merugikan banyak pihak, mulai dari masyarakat lokal hingga negara.

 

“Banyak izin tambang rakyat yang secara legal dikeluarkan untuk koperasi atau kelompok masyarakat. Tapi di lapangan, justru alat berat, bahan kimia berbahaya, dan bahkan sistem logistiknya dikendalikan oleh pemodal besar. Masyarakat hanya jadi nama dan tameng hukum,” ujar Amri.

 

Ia menjelaskan, dengan menyusup di balik izin tambang rakyat, perusahaan-perusahaan besar bisa menghindari kewajiban penting seperti analisis dampak lingkungan (AMDAL), reklamasi pasca-tambang, dan pajak atau royalti yang sesuai skala produksi.

 

“Ini bukan cuma persoalan regulasi yang dilanggar. Yang terjadi adalah pemindahan risiko. Keuntungan ke korporasi, kerusakan ditanggung masyarakat,” tambahnya.

 

Walhi NTB juga mencatat adanya pola di beberapa lokasi tambang rakyat, di mana setelah izin dikeluarkan, masuk alat berat, bahan kimia seperti sianida atau merkuri, dan distribusi hasil tambang langsung dikendalikan oleh pihak luar.

 

“Ini adalah bentuk eksploitasi baru yang justru berlindung di balik legalitas tambang rakyat. Kalau tambang rakyat tetap dikendalikan oleh korporasi, maka yang lahir bukan kesejahteraan, tapi konflik, kerusakan lingkungan, dan ketimpangan baru,” katanya.

 

Amri pun mendorong pemerintah daerah untuk memperketat pengawasan seluruh izin tambang rakyat yang terbit, terutama yang menunjukkan pola kerja menyerupai tambang industri. “Jangan sampai tambang rakyat jadi celah korporasi menghindari tanggung jawab,” tegasnya.

Lemahnya Mitigasi

Sementara terkait sistim mitigasi kerusakan lingkungan, Amri mengatakan bahwa pemerintah harus lebih aktif membahas mitigasi pasca tambang. Agar kedepannya lingkungan tidak mengalami kerusakantahun terakhir.

Ia mencontohkan kasus PT AMG, lubang bekas tambang seluas 25 hektare yang tidak direklamasi. akibatnya, air irigasi pertanian menurun, tentunya lahan tidak akan subur lagi.

“Skala besar atau kecil, tambang tetap merusak. Sudahkah kita bicara mitigasi bencana dengan serius?” ucap Amri.

Meski begitu, Walhi tidak menolak keterlibatan masyarakat dalam mengelola SDA. Namun, semua harus dilakukan secara transparan, adil, dan berkelanjutan. “Kami mendukung jika rakyat, tapi harus dihitung dampaknya dan dirancang mitigasinya bersama-sama,” tambahnya.

 

Sumber: