IQRO: Fondasi Berpikir Jernih dalam Mengukur dan Memahami Realitas

IQRO: Fondasi Berpikir Jernih dalam Mengukur dan Memahami Realitas--
JAKARTA, DISWAY.ID - Perintah pertama Allah kepada Nabi Muhammad SAW adalah satu kata sederhana namun sangat dahsyat: “IQRO”—bacalah. Ini bukan hanya ajakan untuk membaca teks, melainkan perintah untuk memahami hidup dengan jernih, kritis, dan penuh tanggung jawab.
Dalam konteks kehidupan modern, perintah ini menjadi sangat relevan ketika kita dihadapkan pada limpahan informasi, opini, dan penilaian yang kerap kali terburu-buru dan menyesatkan.
Allah memerintahkan manusia membaca agar bisa memahami sesuatu secara utuh dan tepat. Ini menuntut kita untuk tidak hanya melihat angka, data, atau narasi di permukaan, melainkan menelusuri konteks, membandingkan dengan kerangka waktu dan acuan yang tepat, serta menyadari niat dari pihak-pihak yang menyampaikan informasi. Tanpa proses membaca yang mendalam, kita akan mudah terjebak pada kesimpulan yang keliru—bahkan bisa menjadi alat penyebar narasi yang menyesatkan.
Sering kali kita mendapati orang yang menggunakan logika pengukuran yang salah. Misalnya, seperti orang yang mencoba mengukur volume air di waduk besar dengan sendok kecil, atau mengukur panjang sebutir beras dengan meteran dorong. Atau yang lebih aneh lagi, membandingkan kemanisan durian di luar musim, atau menilai tingkat banjir di musim kemarau.
Ketika metode, waktu, dan pembandingnya salah, maka kesimpulannya pun pasti keliru. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hal ini menjadi sangat penting, terutama dalam menilai kebijakan publik dan kerja pemerintah.
Ambil contoh dalam isu revisi Undang-Undang TNI. Ada yang menyimpulkan bahwa karena jumlah kementerian dan lembaga yang dapat dijabat oleh perwira aktif TNI meningkat dari 10 menjadi 14, maka ini adalah bukti kembalinya dwifungsi TNI.
Namun jika kita membaca dengan konteks yang benar, justru UU TNI yang baru ini membatasi secara ketat jabatan yang boleh diisi prajurit aktif—hanya pada instansi yang berkaitan langsung dengan tugas pertahanan dan keamanan, seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Bahkan, tidak ada satu pasal pun yang membuka peluang bagi prajurit TNI untuk berpolitik seperti pada era sebelumnya. Maka justru ini menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR tetap berpegang teguh pada semangat reformasi.
Contoh lain bisa kita lihat dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Ketika sebagian pihak menyoroti bahwa baru 3 juta anak menerima manfaat di bulan Maret dan realisasi anggarannya masih di bawah 1%, mereka langsung menyimpulkan bahwa program ini gagal.
Padahal, jika dibaca dengan cermat, program MBG memang dirancang untuk diluncurkan secara bertahap demi menjaga kualitas dan distribusi yang merata. Targetnya adalah 2,2 juta penerima di akhir Februari, 6 juta di akhir April, dan 82 juta penerima di akhir Desember. Maka realisasi 3 juta anak di bulan Maret justru menunjukkan bahwa program ini berjalan sesuai rencana.
Begitu pula dalam menilai dampak pembentukan Danantara, Sovereign Wealth Fund baru Indonesia. Ketika terjadi arus keluar dana asing dari pasar saham Indonesia sebesar USD 1,6 miliar, ada yang buru-buru menyimpulkan bahwa investor global tidak percaya pada Danantara.
Tapi jika kita membaca tren global secara utuh, arus keluar dana asing jauh lebih besar terjadi di India, Jepang, dan Korea Selatan dalam periode yang sama—meskipun ketiga negara itu tidak sedang membentuk SWF baru. Ini menunjukkan bahwa yang terjadi adalah pergeseran aset global ke instrumen lain seperti emas dan pasar Tiongkok. Jadi, menyalahkan Danantara bukan hanya tidak tepat, tapi juga menyesatkan.
Semua contoh ini mengajarkan kita satu hal: membaca dengan benar—IQRO—adalah inti dari berpikir jernih dan bertindak adil. Membaca bukan sekadar mengeja huruf atau memahami kalimat, tapi juga menyelami konteks, membandingkan fakta secara proporsional, dan menghindari kesimpulan yang tergesa-gesa. Sebuah bangsa hanya bisa maju jika masyarakatnya terbiasa membaca dengan hati, pikiran, dan nurani.
Maka mari kita rawat dan hidupkan kembali semangat IQRO. Di tengah derasnya arus opini dan informasi, hanya dengan membaca secara jernihlah kita bisa membedakan antara niat baik dan manipulasi, antara kerja nyata dan sekadar framing. IQRO adalah pintu menuju kebijaksanaan, dan bangsa yang bijak tidak akan mudah diprovokasi oleh kesimpulan-kesimpulan yang keliru.
Sumber: