Bunga Satako, Sekuntum Makna dalam Sehelai Tenun Bima

Bunga Satako, Sekuntum Makna dalam Sehelai Tenun Bima

Di antara deretan motif yang menghiasi benang-benang warna warni itu, satu corak mencuri perhatian: Bunga Satako--Pemkot Bima

BIMA, DISWAY.ID - Di sebuah sudut rumah panggung di Kecamatan Woha, tenun bergerak lincah di atas alat tenun bukan mesin.

Bunyi “tak-tak-tak” berpadu dengan aroma kopi hitam pagi hari, membentuk simfoni khas kampung tenun yang nyaris tak berubah sejak puluhan tahun lalu.

Di antara deretan motif yang menghiasi benang-benang warna warni itu, satu corak mencuri perhatian: Bunga Satako.

Sekilas, ia tampak sederhana—bentuk bunga dengan kelopak bulat simetris.

Namun di balik kesederhanaannya, tersimpan filosofi mendalam yang berakar pada nilai-nilai kehidupan masyarakat Bima.

“Satako itu bukan cuma bunga. Ia lambang keutuhan keluarga, persatuan, dan perempuan yang kuat menjaga rumah tangga,” tutur Fatimah (49), penenun generasi ketiga dari Desa Samili dikutip dari laman resmi Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kota Bima

Ia telah menenun sejak usia 12 tahun, belajar dari ibunya yang dulu selalu berkata, “Kalau sudah bisa bikin motif Satako, artinya kamu sudah dewasa.”

BACA JUGA:Ketua MPR RI Kunjungi Pesantren Internasional di Sumbawa, Gubernur NTB Bilang Begini di Depan Santri

Motif Perempuan, Simbol Kehormatan

Bunga Satako dianggap sebagai motif milik perempuan. Dalam tradisi masyarakat Mbojo—nama lain dari etnis Bima—perempuan adalah tiang rumah, penjaga adat, dan penerus tradisi.

Motif Satako kerap ditenun untuk keperluan rimpu, busana adat perempuan Bima yang mirip kerudung dan sarung panjang.

Tak sembarang orang bisa menenun Satako.

Motif ini biasanya diturunkan secara turun-temurun, dan proses pembuatannya dianggap “bernilai” karena menggambarkan kesabaran serta ketelitian—dua hal yang lekat dengan peran perempuan dalam keluarga.

“Dulu, rimpu bermotif Satako hanya dikenakan saat acara penting, seperti lamaran atau sambutan tamu kehormatan,” jelas Ramlah, budayawan dan dosen Universitas Mbojo.

“Ia menjadi simbol kehormatan dan kebanggaan.”

Sumber: