Bunga Satako, Sekuntum Makna dalam Sehelai Tenun Bima

Senin 12-05-2025,22:36 WIB
Reporter : Marieska Virdhani
Editor : Marieska Virdhani

Meski sarat makna, tenun bermotif Satako perlahan mulai tenggelam di tengah arus modernisasi.

Anak-anak muda lebih memilih motif kontemporer atau bahkan kain instan buatan pabrik. Namun beberapa tahun terakhir, Satako kembali naik daun—bukan karena tradisi, melainkan karena tren fashion etnik yang kian digandrungi.

Desainer lokal hingga nasional mulai melirik keunikan motif tenun Bima, dan Satako menjadi salah satu yang paling dicari.

Motif ini tampil dalam balutan gaun modern, outerwear, hingga aksesori yang dipamerkan di runway Jakarta dan Makassar.

“Saya bangga motif kami dipakai orang kota, tapi jangan sampai maknanya hilang,” ujar Fatimah.

Ia kini aktif mengajar anak muda di desanya untuk tetap mengenali arti di balik setiap pola tenunan.

BACA JUGA:Bob Yuan dan Leo Ye Hongli Juara GT World Challenge Asia 2025 Sirkuit Mandalika, Gubernur NTB Ucapkan Selamat

Warisan Budaya yang Harus Dijaga

Pemerintah Kabupaten Bima sempat mengusulkan registrasi motif Satako sebagai kekayaan intelektual komunal, agar tidak diklaim daerah atau negara lain. Namun hingga kini, proses itu belum rampung.

Sementara itu, komunitas penenun di Bima berjuang menjaga kelestarian tenun dengan cara mereka sendiri—mengadakan festival rimpu, membuka kelas tenun bagi anak muda, dan menggandeng UMKM lokal untuk promosi produk ke luar daerah.

“Kalau bukan kita yang jaga, siapa lagi?” kata Ramlah. “Satako bukan sekadar motif. Ia adalah kisah kita, tentang perempuan, tentang rumah, dan tentang Bima itu sendiri.”

Di tengah geliat zaman yang terus berubah, sehelai tenun bermotif Satako menjadi penanda bahwa kearifan lokal tak pernah benar-benar usang. Ia hanya menunggu untuk dipahami kembali—dihargai bukan sekadar karena cantiknya rupa, tapi karena dalamnya makna.

Kategori :