Kematian Brigadir Nurhadi: Hasil Poligraf Ungkap Para Tersangka Berbohong

Ilustrasi tes poligraf, alat pendeteksi kebohongan. (WIKIMEDIA COMMONS)--
Mataram, Disway.id- Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda NTB mengungkap hasil mengejutkan dari pemeriksaan menggunakan alat tes kebohongan (poligraf) terhadap tersangka dalam kasus kematian Brigadir Nurhadi.
Seluruh tersangka yang diperiksa, termasuk dua mantan perwira Polri yaitu IMYP dan HC, diduga memberikan keterangan tidak jujur terkait peristiwa yang menyebabkan meninggalnya Brigadir Nurhadi.
“Secara umum hasil poligraf dari semua tersangka yang diperiksa, bahwa ada indikasi berbohong terkait dengan peristiwa yang ada di vila Tekek ataupun di Gili Trawangan tersebut,” ujar Direktur Reskrimum Polda NTB Kombes Pol Syarif Hidayat dalam konferensi pers Jumat (4/7).
Syarif mengatakan, pemeriksaan terhadap ke tiga tersangka dilakukan oleh ahli dari Laboratorium Forensik (Lafor) Bali selama tiga hari penuh secara terpisah, di tempat yang tenang, tanpa intervensi berbagai pihak.
Hasilnya menunjukkan bahwa semua tersangka memiliki respons kebohongan saat ditanyai soal kronologi kejadian dan tindakan yang dilakukan pada malam kematian Brigadir Nurhadi.
Syarif menjelaskan bahwa hasil pemeriksaan poligraf bukan satu-satunya dasar untuk penetapan para tersangka melainkan bagian dari pendekatan Scientific Crime Investigation, yang menggabungkan hasil eksumasi, keterangan ahli pidana, dan bukti CCTV dari lokasi kejadian.
“Kami tidak mengejar pengakuan. Kami berdasar pada hasil eksumasi, hasil ahli forensik, dan poligraf. Kami tidak ingin hanya mengandalkan pengakuan karena bisa saja tidak diungkapkan secara jujur. Fakta ilmiah lebih utama,” ujarnya.
Dengan kombinasi hasil poligraf tersebut, temuan forensik, dan analisis ahli pidana, Polda NTB menetapkan tiga orang sebagai tersangka utama, dan satu lainnya turut serta. Mereka dikenakan pasal 351 ayat 3, 359, dan 55 KUHP.
Sementara itu, dokter forensik dr. Arfi Syamsun, Sp.KF., M.Si., Med yang melakukan otopsi terhadap Jenazah Brigadir Nurhadi menemukan sejumlah luka antemortem atau luka yang terjadi sebelum kematian, termasuk lecet, memar, dan luka robek di bagian kepala, tengkuk, punggung, dan kaki kiri.
Bahkan, pemeriksaan mendalam menunjukkan adanya perdarahan di kepala bagian depan dan belakang, serta fraktur pada tulang lidah, yang sangat mungkin disebabkan oleh tindakan pencekikan.
“Kalau tulang lidah yang mengalami patah, maka lebih dari 80% penyebabnya karena pencekikan atau penekanan pada area leher,” kata dr. Arfi.
Ia juga menegaskan bahwa korban masih hidup saat berada di air, ditunjukkan oleh ditemukannya rangka ganggang air kolam di paru-paru, otak, dan ginjal. Dengan kata lain, Brigadir Nurhadi diduga tidak sadarkan diri sebelum akhirnya tenggelam di kolam, akibat pencekikan sebelumnya.
Selain itu, rekaman CCTV dari pintu masuk vila menunjukkan bahwa tidak ada aktivitas keluar-masuk pada waktu kematian, kecuali dari para tersangka. Ini memperkuat kesimpulan bahwa insiden tragis tersebut terjadi di antara mereka yang sudah berada di dalam vila.
“Jadi tidak bisa dipisahkan tenggelam sendiri kemudian pencegahan atau patah tulang lidah sendiri-sendiri. Tapi merupakan kejadian yang berkesinambungan, berkelanjutan,” tegasnya.
Untuk diketahui, Brigadir Muhammad Nurhadi anggota propam Polda NTB ditemukan tewas di kolam vila Tekek Gili Trawangan pada April 2025 lalu.
Kematian Nurhadi menimbulkan kecurigaan. Karena adanya bekas kekerasan di tubuh korban, yang memicu penyelidikan lebih lanjut.
Setelah polisi melakukan pemeriksaan, dua anggota kepolisian yaitu IMY dan HC beserta seorang perempuan berinisial M, ditetapkan sebagai tersangka.
IMY dan HC telah dipecat tidak dengan hormat (PTDH) serta menjalani pemeriksaan menyeluruh oleh penyidik, sedangkan M ditahan sejak 2 Juli 2025
Kasus ini menyedot perhatian publik karena adanya dugaan ketidakwajaran dalam proses hukum, termasuk adanya potensi konflik kepentingan dan tekanan institusional.
Sumber: