BBM dan Listrik Bisa Naik Tahun Depan? Pemerintah Buka Peluang Pangkas Subsidi

Foto Ilustrasi SPBU Pertamina--Disperindag pamekasan
NTB, DISWAY.ID – Pemerintah diperkirakan akan mempertimbangkan pemangkasan subsidi energi pada tahun anggaran 2026 sebagai langkah antisipatif menjaga kestabilan fiskal.
Kebijakan ini dinilai menjadi opsi terakhir apabila pendapatan negara tak mencapai target sementara belanja negara melebihi batas yang telah ditetapkan.
Menurut Ekonom Pasar Global Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, langkah tersebut menjadi salah satu bentuk efisiensi anggaran yang mungkin diambil apabila asumsi-asumsi makroekonomi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 tidak sesuai realisasi.
BACA JUGA:Pidato Prabowo di PBB Trending! Bicarakan Soal Revolusi, HAM, dan Martabat Manusia
Dalam RAPBN 2026, pemerintah menetapkan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar US$ 70 per barel, turun dari realisasi rata-rata tahun ini yang berada di kisaran US$ 82 per barel.
"Angka US$ 70 masih cukup rasional jika ekonomi global mengalami perlambatan. Tapi kalau terjadi pemulihan dan harga minyak kembali naik, bisa saja menyentuh di atas US$ 75 per barel, dan ini akan berdampak pada belanja subsidi BBM dan energi lainnya," ujar Myrdal, Selasa, 23 September 2025.
Ia menambahkan, subsidi untuk listrik dan LPG merupakan salah satu pos pengeluaran besar dalam APBN, dengan alokasi lebih dari Rp 80 triliun. Jika konsumsi energi melonjak, maka realisasi subsidi bisa membengkak melebihi proyeksi awal.
BACA JUGA:Ekonomi RI Melejit! Menkeu Purbaya: Tahun Ini Bisa Tembus di Atas 4,8%!
Tahun ini, lonjakan subsidi listrik sempat terjadi akibat kebijakan diskon tarif sebesar 50% bagi pelanggan rumah tangga dengan daya listrik hingga 2.400 VA pada awal tahun.
Kebijakan tersebut mendorong lonjakan anggaran subsidi yang sebelumnya tak diperkirakan.
Menyikapi situasi fiskal yang semakin ketat, Myrdal memprediksi pemerintah akan mengambil sikap lebih selektif dalam penyaluran subsidi energi pada tahun depan.
Hal ini juga sejalan dengan upaya menjaga defisit anggaran tetap terkendali di level 2,68% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), atau tetap di bawah ambang batas 3%.
BACA JUGA:Oknum Polisi Bima Terjerat Jaringan Sabu, Dibekuk BNNP NTB
"Jika ingin menjaga defisit tetap rendah, pemerintah tak punya banyak pilihan selain menyesuaikan alokasi belanja dan memprioritaskan program yang betul-betul strategis," tuturnya.
Sumber: